Akhir-akhir ini, kita merindukan suasana Ramadhan 10 atau 15 tahun yang lalu ketika euforia sosial media belum sebebas dan sebablas sekarang. Mengapa?
Sadarilah, Ramadhan adalah tamu agung yang membawa banyak oleh-oleh dan tanda mata beraneka macam yang 'mahal' dan 'berkelas' untuk kita tuan rumahnya. Oleh-oleh itu berupa pahala, maghfiroh, keberkahan, setiap kebajikan bernilai berlipat-lipat dari biasanya.
Oleh karena itu kita mengatakan Marhaban yaa Ramadhan, bukan hanya Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan.
Sadarilah, ketika Anda membuat lucu-lucuan, meme-meme-an, posting-postingan yang bersifat meledek dan mencandai Ramadhan -agar dikira kreatif dan penuh gagasan-, bahkan membuat orang sampai membaginya, men-share, di banyak media sosial, grup bicara dan sebagainya, Anda sedang melukai perasaan tamu Anda yang dengan tulus sedang bicara serius pada Anda, bermakna, penting, berikut dengan semua 'oleh-oleh pahala' itu yang Anda anggap tak berguna.
Lalu dengan seenaknya Anda katakan: "Ah, kamu ini terlalu sensi, aku kan cuma bercanda. Woles aja kale, gitu aja baperan".
Sadarilah, suatu kali Pengutus tamu agung ini pun juga akan bercanda pada anda pada saat yang paling serius di penghujung akhir kehidupan.
Saat Anda sudah berbahagia, menjadi tamu Surga, ketika Anda tengah memasuki gerbang Surga. Tetiba malaikat mencegat seraya berkata:
"Kamu tidak jadi masuk Surga. Tuhan hanya bercanda kalau kamu bisa masuk Surga"
Anda tercengang.
"Woles aja dan jangan baper ya, sekarang ambil jalur satunya lagi", seru Malaikat penjaga Surga.
Marilah, kurangi dan hentikan kadar bercanda hingga meledek di bulan yang suci ini. Jadikan media sosial sebagai sarana menggapai Surga dengan tidak mencandai Ramadhan.