Pidato Valedictorian Inaugurasi Doktor
Written by Rangga Almahendra
Sunday, 10 July 2011 15:46
11 Maret adalah hari yang ditunjuk Allah sebagai hari yang bersejarah untukku. Hari yang juga telah lama dinantikan oleh istriku dan kedua orangtuaku: promosi gelar doktor yang akhirnya aku terima setelah 3 tahun menuntut ilmu di Eropa. Bagi kedua orang tuaku, panjatan doa dalam setiap hembusan nafas mereka adalah harapan dan kepasrahan kepada-Nya agar studi anak sulungnya bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Tak jarang, dalam simpuh sujud salatnya, sebuah janji nazar mereka sampaikan untuk Tuhan demi anak laki-laki satu satunya. Dan akhirnya penantian panjang itu dijawab Allah pada 11 Maret 2011.
Membaca pidato inaugurasi gelar doktor. Awangku melayang ke sebuah memori 20 tahun yang lalu. Aku masih ingat wajah berseri kedua orang tuaku, sambil menggendong adikku Ica yang masih berusia 4 tahun, mereka mengantarkanku menuju aula SD. Sejurus kemudian, aku sudah berdiri dihadapan microphone kecil itu. Membaca pidato persembahan para siswa lulusan kelas 6 SD Jetis Harjo 2. Aku bisa menangkap kebanggaan bercampur keharuan terpancar dari wajah mereka, ketika bibir kecilku membaca baris demi baris kata yang tertulis dalam naskah pidato kelulusan hari itu.
11 Maret 2011. Aku mengenang kembali hari kelulusanku waktu SD. Tapi kali ini aku tak bisa membungkukkan badanku. Karena kedua orang tuaku, tak bisa hadir di ruangan wisuda. Mereka hanya bisa memejamkan mata, membayangkan dari ribuan mil jauhnya di tanah air, sambil tak hentinya mengucap syukur kepadaNya karena Allah telah menjawab semua do’a dan permintaan mereka. Aku bisa merasakan harapan mereka, karena di saat bersamaan kakiku juga bergetar dan sudut mata ini tak kuasa menahan tetesan air mata.
Dan entah kenapa, aku juga memutuskan memakai Batik ketika membaca pidato valedictorian hari itu; terlihat sangat tidak biasa bagi kebanyakan wisuda wisuda di Eropa. Ada kekuatan yang membisikkan hatiku, bahwa aku tak boleh lupa dengan identitas jati diriku, sebagai seorang muslim dan warga negara Indonesia. Dan entah mengapa juga aku memilih topik tentang toleransi dan keberagaman sebagai tema utama pidato inagurasi doktoralku. Mungkin karena akhir akhir ini aku sangat prihatin membaca berita berita konflik sosial yang tak berkesudahan di Indonesia.
11 Maret 1979. Kebetulan juga adalah hari yang sangat spesial untuk kedua orang tuaku. Jum’at itu, tepat 32 tahun sudah usia perkawinan mereka. Mudah mudahan kelulusanku bisa menjadi kado ulang tahun perkawinan yang berkesan untuk mereka berdua. Ayahanda Martono Muslam dan juga ibunda Henny Listiani, aku persembahkan 11 Maret untuk mu. Terimakasih atas semua do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak pernah putus.
Aku juga ingin mempersembahkan 11 Maret untuk semua orang yang masih mempercayai kekuatan do’a dan restu orang tua. Juga untuk orang orang yang masih mempercayai bahwa toleransi adalah anugerah bagi kemanusiaan, bahwa dunia ini akan lebih indah, jika dalam perbedaan, kita bisa hidup saling berdampingan.
Terimakasih teman teman untuk dukungannya, sebagian dari Pidato ini bisa dilihat di sini: Youtube
Written by Rangga Almahendra
Sunday, 10 July 2011 15:46
11 Maret adalah hari yang ditunjuk Allah sebagai hari yang bersejarah untukku. Hari yang juga telah lama dinantikan oleh istriku dan kedua orangtuaku: promosi gelar doktor yang akhirnya aku terima setelah 3 tahun menuntut ilmu di Eropa. Bagi kedua orang tuaku, panjatan doa dalam setiap hembusan nafas mereka adalah harapan dan kepasrahan kepada-Nya agar studi anak sulungnya bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Tak jarang, dalam simpuh sujud salatnya, sebuah janji nazar mereka sampaikan untuk Tuhan demi anak laki-laki satu satunya. Dan akhirnya penantian panjang itu dijawab Allah pada 11 Maret 2011.
Membaca pidato inaugurasi gelar doktor. Awangku melayang ke sebuah memori 20 tahun yang lalu. Aku masih ingat wajah berseri kedua orang tuaku, sambil menggendong adikku Ica yang masih berusia 4 tahun, mereka mengantarkanku menuju aula SD. Sejurus kemudian, aku sudah berdiri dihadapan microphone kecil itu. Membaca pidato persembahan para siswa lulusan kelas 6 SD Jetis Harjo 2. Aku bisa menangkap kebanggaan bercampur keharuan terpancar dari wajah mereka, ketika bibir kecilku membaca baris demi baris kata yang tertulis dalam naskah pidato kelulusan hari itu.
“Teman teman, mari kita bungkukkan badan kita sejenak, untuk memberikan penghargaan kepada mama dan papa kita tercinta”Tentu saat itu kedua orang tuaku tak pernah membayangkan, 20 tahun kemudian, bibir yang sama, kembali membacakan naskah pidato wisuda doktoral di negeri Eropa nan jauh disana.
11 Maret 2011. Aku mengenang kembali hari kelulusanku waktu SD. Tapi kali ini aku tak bisa membungkukkan badanku. Karena kedua orang tuaku, tak bisa hadir di ruangan wisuda. Mereka hanya bisa memejamkan mata, membayangkan dari ribuan mil jauhnya di tanah air, sambil tak hentinya mengucap syukur kepadaNya karena Allah telah menjawab semua do’a dan permintaan mereka. Aku bisa merasakan harapan mereka, karena di saat bersamaan kakiku juga bergetar dan sudut mata ini tak kuasa menahan tetesan air mata.
Dan entah kenapa, aku juga memutuskan memakai Batik ketika membaca pidato valedictorian hari itu; terlihat sangat tidak biasa bagi kebanyakan wisuda wisuda di Eropa. Ada kekuatan yang membisikkan hatiku, bahwa aku tak boleh lupa dengan identitas jati diriku, sebagai seorang muslim dan warga negara Indonesia. Dan entah mengapa juga aku memilih topik tentang toleransi dan keberagaman sebagai tema utama pidato inagurasi doktoralku. Mungkin karena akhir akhir ini aku sangat prihatin membaca berita berita konflik sosial yang tak berkesudahan di Indonesia.
11 Maret 1979. Kebetulan juga adalah hari yang sangat spesial untuk kedua orang tuaku. Jum’at itu, tepat 32 tahun sudah usia perkawinan mereka. Mudah mudahan kelulusanku bisa menjadi kado ulang tahun perkawinan yang berkesan untuk mereka berdua. Ayahanda Martono Muslam dan juga ibunda Henny Listiani, aku persembahkan 11 Maret untuk mu. Terimakasih atas semua do’a, dukungan dan kasih sayang yang tak pernah putus.
Aku juga ingin mempersembahkan 11 Maret untuk semua orang yang masih mempercayai kekuatan do’a dan restu orang tua. Juga untuk orang orang yang masih mempercayai bahwa toleransi adalah anugerah bagi kemanusiaan, bahwa dunia ini akan lebih indah, jika dalam perbedaan, kita bisa hidup saling berdampingan.
Pidato Valedictorian Inaugurasi Gelar Doktor
Vienna University of Economics and Business (WU-Vienna)
Sebelumnya saya ingin minta maaf, karena kurang lancar berbahasa Jerman, ijikan saya membacakan pidato kelulusan ini dalam bahasa Inggris.
Terima kasih banyak. Suatu kehormatan besar bagi saya dapat berdiri dihadapan seluruh hadirin yang terhormat. Ijinkan saya juga ingin menyampaikan salam hangat kepada dewan rektor, seluruh profesor dan guru besar universitas WU Vienna, Yang mulia Duta Besar, seluruh tamu undangan, keluarga, teman, dan tentu saja untuk bintang acara pada siang hari ini: seluruh rekan rekan wisudawan bulan Maret 2011
Rekan-rekan wisudawan yang berbahagia.
Kita berkumpul pada siang hari ini untuk merayakan kelulusan dan keberhasilan kita dalam menempuh studi kita. Tapi sebelumnya, saya mengajak rekan rekan semua untuk menundukkan kepala sejenak dan mengucapkan terimakasih kepada pahlawan pahlawan tak terucap siang hari ini: keluarga kita. Orang tua, suami atau istri, adik atau kakak, mereka adalah orang orang yang selalu mempercayai kita. Orang yang selalu bersedia mendengarkan semua masalah, keluhan dan kesulitan kesulitan yang kita hadapi. Mereka adalah keluarga kita, yang cinta dan kasih sayangnya menjadi sumber kekuatan hidup bagi kita semua.
Saya percaya, bahwa hari ini bukan hanya milik kita. Hari ini adalah hari mereka juga…Mari kita semua memberikan tepuk tangan paling hangat untuk seluruh keluarga kita.
(Tepuk tangan)
Sayang sekali, kedua orang tua saya tidak bisa datang pada hari ini. Karena bagi saya sendiri, bisa hadir berada disini, jauh dari sekedar melakukan perjalanan 10.000 Km menyeberangi tiga samudra. Saya ingat 3,5 tahun yang lalu, ketika saya menginjakkan kaki pertama kali ke gedung ini, saya dihantui oleh kegelisahan dan ketidakpastian yang mendalam. Saya menyaksikan begitu banyak perbedaan di negeri ini. Bahasa yang berbeda, budaya dan makanan yang berbeda. Saya juga harus menghadapi banyak orang orang yang memiliki sistem nilai dan cara berpikir yang berbeda dengan yang saya miliki. Saya sempat tidak yakin, saya bisa bertahan 3 atau 4 tahun disini untuk menyelesaikan studi doktoral saya.
Tapi hari ini, saya harus berterimakasih pada seluruh karyawan dan staff fakultas di kampus ini yang tak kenal lelah membantu saya melewati proses yang sangat sulit ini. Terimakasih juga atas komitmen dewan rektor yang menjadikan kampus ini menjadi kampus global. Jumlah mahasiswa internasional, mitra dan dosen internasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Rasio dosen internasional telah mencapai 30 %, dan kini, lebih dari seperempat mahasiswa yang belajar dikampus ini berasal dari luar negeri.
Selama menempuh studi dikampus ini, saya juga menyaksikan sebuah transformasi besar kampus ini. Universitas ini telah berubah nama dari sebuah perguruan tinggi di Wina, Wirtschaftsuniversität Wien, berubah menjadi sebuah World-class University, disingkat W-U.
Jadi saya berpikir, bahwa kita disini tidak hanya untuk merayakan pencapaian gelar studi kita, tetapi yang lebih penting untuk merayakan sebuah contoh keberhasilan perguruan tinggi kelas dunia yang menjunjung tinggi semangat profesionalisme dan kesetaraan. Kita semua disini telah berhasil mematahkan perdebatan tak berujung, tentang ras, etnis, agama dan gender yang mendominasi politik dan berita media massa dalam dekade terakhir.
Saya datang dari sebuah negara bernama Indonesia. Saya dilahirkan di sebuah desa terpencil dimana tidak ada listrik dan air bersih. Lebih dari separuh orang di desa kami berpenghasilan kurang dari 1 euro per hari. Orang tua saya hanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil kelas menegah, yang tidak pernah sedikitpun berani bermimpi untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan biaya sendiri. Akhirnya Professor Wolfgang Obenaus yang meyakinkan saya untuk belajar di kampus terhormat ini, di jantung kota Eropa, dengan menggunakan beasiswa untuk negara negara dunia ketiga.
Saya juga senang bahwa hari ini saya diperbolehkan memakai ‘Batik’, pakaian tradisional dari negara kami, karena saya sangat yakin bahwa panitia wisuda pasti akan menghargai perbedaan dan keberagaman. Karena mereka juga menjunjung tinggi nilai nilai universitas ini, bahwa faktor paling penting yang menentukan keberhasilan seseorang bukanlah warna kulit mereka, bukan agama mereka, bukan pula siapa orang tua mereka, atau berapa banyak uang yang mereka miliki.
Saya percaya akan janji dari sistem pendidikan di sini. Tidak peduli bagaimana rupa kita, darimana asal negara kita, atau apapun agama kita, setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mewujudkan impian-impiannya.
Rekan-rekan wisudawan yang sangat saya banggakan.
Saat ini kita hidup dalam era globalisasi. Ini adalah era di mana orang-orang di Wina juga harus bersaing dengan orang-orang dari Shanghai atau Mumbai, India. Kita semua bisa mencari pekerjaan di manapun di muka bumi ini. Pada akhirnya ketrampilan dan ilmu kita-lah yang menjadi paspor global kita, yang memungkinkan kita mampu menjelajah dunia. Satu satunya hal berharga yang bisa kita jual adalah ketrampilan dan ilmu kita.
Hidup dalam era globalisasi ini juga seharusnya membuat kita sadar, bahwa sejatinya kita juga bernafas di bawah atap rumah yang sama. Di rumah global ini, semua perbedaan atau keyakinan apapun bisa kita temukan. Perbedaan kecil yang sangat tidak signifikan dapat memicu konflik, bahkan peperangan. Tapi saya sangat yakin, tidak satupun di ruangan ini yang akan membiarkan ini untuk terjadi. Karena terlepas dari semua perbedaan yang kita miliki, kita semua memiliki harapan yang sama sebagai umat manusia. Kita semua memiliki keyakinan bahwa kita semua sebenarnya saling terhubung, terikat sebagai saudara atau saudari dari masa lalu.
Didorong oleh keyakinan ini juga, saya juga mengajak rekan rekan semua untuk menjadi agen perubahan yang tak kenal lelah berusaha membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih nyaman untuk di tinggali, tempat yang lebih aman bagi setiap perbedaan; sebagaimana yang ditunjukan oleh transformasi kampus ini.
Dalam beberapa minggu ini, saya akan pulang ke Indonesia. Saya seorang muslim, dan saya akan berbicara lantang kepada saudara-saudara di negara saya, bahwa di negara ini saya tidak hanya belajar tentang profesionalisme dan keberhasilan, tapi juga toleransi dan menghargai satu sama lain.
Cepat atau lambat Anda juga akan melakukan perjalanan Anda sendiri. Bagi sebagian, perjalanan Anda ke depan mungkin tidak akan mudah. Tidak ada satupun orang di ruangan ini yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Namun saya berani memastikan akan satu hal: masa depan bukanlah suatu keadaan yang akan kita temukan, tapi keadaan yang harus kita ciptakan…bersama-sama.
Saya percaya bahwa kita mampu berhasil dimanapun didunia ini, karena kita semua sudah dilatih dalam lingkungan global, yang menjunjung tinggi semangat profesionalisme dan toleransi atas keberagaman.
Hari ini, kita semua bangga menerima ijazah atas studi kita, anugerah yang akan kita hargai sepanjang umur hidup kita.
Tapi ijinkan saya mengutip sebuah pepatah: anugerah paling berharga sejatinya bukanlah yang terlihat oleh mata, tapi ditemukan dalam hati kita. Ilmu dan kebahagiaan adalah anugerah bagi seorang manusia, dan sesungguhnya toleransi dan keberagaman adalah anugerah bagi kemanusiaan.
Suatu harapan yang tulus dari saya, bahwa perjalanan Anda selanjutnya akan membawa ke puncak harapan Anda, menuju langit tertinggi kebahagian Anda, dan juga untuk menjadi anugerah bagi kemanusiaan dan seluruh alam.
Sekali lagi selamat. Selamat melanjutkan perjalanan. Dan semoga Tuhan selalu menyertai langkah kita.
Terima kasih.
Vienna, 11 Maret 2011
Rangga Almahendra
Terimakasih teman teman untuk dukungannya, sebagian dari Pidato ini bisa dilihat di sini: Youtube